MEKANISME PERENCANAAN, PENGANGGARAN, DAN PELAKSANAAN APBN DAN APBD
A. PERENCANAAN, PENGANGGARAN, DAN PELAKSANAAN APBN
Dalam rangka penyusunan rancangan APBN, menteri/pimpinan lembaga selaku pengguna anggaran/pengguna barang, menyusun rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga tahun berikutnya, berdasarkan prestasi kerja yang akan dicapainya. Rencana kerja dan anggaran tersebut disertai perkiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sedang disusun, disampaikan kepada DPR untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN, dan hasil pembahasan tersebut disampaikan kepada Menteri Keuangan sebagai bahan penyusunan rancangan undang-undang tentang APBN tahun berikutnya, sedangkan ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga diatur dengan Peraturan Pemerintah. Penyusunan APBN dimulai dengan pembuatan RPJM yang kemudian dijabarkan dalam RKP.
Tahap penganggaran dipimpin oleh Kementerian Keuangan pada Pemerintah Pusat. Setiap tahun, penyusunan APBN dimulai dari penyusunan RKP dengan menyiapkan rancangan kebijakan umum, program indikatif, dan pagu indikatif. Rancangan RKP ini selanjutnya disampaikan ke DPR untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan. Setelah disepakati bersama dengan DPR, maka kebijakan umum anggaran, program prioritas dan plafon anggaran sementara, akan menjadi dasar bagi Kementrian/Lembaga untuk menyusun Rencana Kerja dan Anggaran (RKA). RKA ini selanjutnya digunakan untuk menyusun Rancangan APBN/RAPBN yang wajib disampaikan ke DPR untuk dibahas dan diperbaiki sebelum disetujui untuk ditetapkan menjadi APBN. DPR dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan APBN. Proses pengesahan Rancangan APBN dilakukan setelah ada persetujuan oleh DPR.
Pelaksanaan anggaran diawali dengan disahkannya dokumen pelaksanaan anggaran oleh Menteri Keuangan. Terhadap dokumen anggaran yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan disampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Gubernur, Direktur Jenderal Anggaran, Direktur Jenderal Perbendaharaan, Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Perbendaharaan terkait, Kuasa Bendahara Umum Negara (KPPN) terkait, dan Kuasa Pengguna Anggaran. Dokumen-dokumen penting dalam pelaksanaan anggaran adalah Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) dan dokumen lain yang dipersamakan dengan DIPA. Segera setelah suatu tahun anggaran dimulai (1 Januari), maka DIPA harus segera diterbitkan untuk dibagikan kepada satuan-satuan kerja sebagai pengguna anggaran pada kementerian/lembaga Sedangkan dokumen pembayaran antara lain terdiri dari Surat Permintaan Pembayaran (SPP), Surat Perintah Membayar (SPM), dan Surat Perintah Pencairan Dana (SP2D).
B. PERENCANAAN, PENGANGGARAN, DAN PELAKSANAAN APBD
Penyusunan APBD berpedoman kepada Rencana Kerja Pemerintah Daerah. Karena itu kegiatan pertama dalam penyusunan APBD adalah penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD). Pemerintah daerah menyusun RKPD yang merupakan penjabaran dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dengan menggunakan bahan dari Renja SKPD untuk jangka waktu 1 (satu) tahun yang mengacu kepada Rencana Kerja Pemerintah Pusat.
RKPD tersebut memuat rancangan kerangka ekonomi daerah, prioritas pembangunan dan kewajiban daerah, rencana kerja yang terukur dan pendanaannya, baik yang dilaksanakan langsung oleh pemerintah, pemerintah daerah maupun ditempuh dengan mendorong partisipasi masyarakat. Secara khusus, kewajiban daerah mempertimbangkan prestasi capaian standar pelayanan minimal yang ditetapkan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. RKPD disusun untuk menjamin keterkaitan dan konsistensi antara perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, dan pengawasan. Penyusunan RKPD diselesaikan paling lambat akhir bulan Mei sebelum tahun anggaran berkenaan. RKPD ditetapkan dengan peraturan kepala daerah.
Tahap penganggaran pada pemerintah daerah dikelola oleh Tim Anggaran Pemerintah Daerah (TAPD). Setiap tahun, penyusunan APBD dimulai dari penyusunan RKPD dengan menyiapkan rancangan kebijakan umum, program indikatif, dan pagu indikatif. Rancangan RKPD ini selanjutnya disampaikan ke DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan. Setelah disepakati bersama dengan DPRD, maka kebijakan umum anggaran, program prioritas dan plafon anggaran sementara, akan menjadi dasar bagi SKPD untuk menyusun Rencana Kerja dan Anggaran (RKA). RKA ini selanjutnya digunakan untuk menyusun Rancangan APBD yang wajib disampaikan ke DPRD untuk dibahas dan diperbaiki sebelum disetujui untuk ditetapkan menjadi APBD. DPRD dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan APBD. Proses pengesahan Rancangan APBD dilakukan setelah ada persetujuan oleh DPRD dengan ada tambahan proses evaluasi. Evaluasi atas RAPBD yang telah disetujui oleh DPRD dilakukan oleh gubernur untuk RAPBD kabupaten/kota dan Mendagri untuk RAPBD provinsi. Proses evaluasi tersebut bertujuan untuk melindungi kepentingan umum, menyelaraskan dan menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi dan/atau peraturan daerah lainnya.
Perencanaan anggaran daerah secara keseluruhan mencakup penyusunan Kebijakan Umum APBD sampai dengan disusunnya Rancangan APBD terdiri dari beberapa tahapan proses perencanaan anggaran daerah. Berdasarkan Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 serta Undang-Undang No. 32 dan 33 Tahun 2004, tahapan tersebut adalah sebagai berikut :
1) Pemerintah daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya sebagai landasan penyusunan rancangan APBD paling lambat pada pertengahan bulan Juni tahun berjalan. Kebijakan umum APBD tersebut berpedoman pada RKPD. Proses penyusunan RKPD tersebut dilakukan antara lain dengan melaksanakan musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang) yang selain diikuti oleh unsur-unsur pemerintahan juga mengikutsertakan dan/atau menyerap aspirasi masyarakat terkait, antara lain asosiasi profesi, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat (LSM), pemuka adat, pemuka agama, dan kalangan dunia usaha.
2) DPRD kemudian membahas kebijakan umum APBD yang disampaikan oleh pemerintah daerah dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya.
3) Berdasarkan Kebijakan Umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD, pemerintah daerah bersama DPRD membahas prioritas dan plafon anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap SKPD.
4) Kepala SKPD selaku pengguna anggaran menyusun RKA-SKPD tahun berikutnya dengan mengacu pada prioritas dan plafon anggaran sementara yang telah ditetapkan oleh pemerintah daerah bersama DPRD.
5) RKA-SKPD tersebut kemudian disampaikan kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD.
6) Hasil pembahasan RKA-SKPD disampaikan kepada pejabat pengelola keuangan daerah sebagai bahan penyusunan rancangan perda tentang APBD tahun berikutnya.
7) Pemerintah daerah mengajukan rancangan perda tentang APBD disertai dengan penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD pada minggu pertama bulan Oktober tahun sebelumnya.
8) Pengambilan keputusan oleh DPRD mengenai rancangan perda tentang APBD dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.
9) Rancangan peraturan daerah tentang APBD dan rancangan peraturan daerah tentang penjabaran APBD yang telah dievaluasi ditetapkan oleh kepala daerah menjadi peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD. Penetapan rancangan peraturan daerah tentang APBD dan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD dilakukan paling lambat tanggal 31 Desember tahun anggaran sebelumnya.
Tahap pelaksanaan siklus pengelolaan keuangan daerah diawali dengan menyusun Dokumen Pelaksanaan Anggaran SKPD (DPA-SKPD). PPKD paling lama 3 (tiga) hari kerja setelah peraturan daerah tentang APBD ditetapkan, memberitahukan kepada semua kepala SKPD agar menyusun rancangan DPA-SKPD. Rancangan DPA-SKPD merinci sasaran yang hendak dicapai, program, kegiatan, anggaran yang disediakan untuk mencapai sasaran tersebut, dan rencana penarikan dana tiap-tiap SKPD serta pendapatan yang diperkirakan.
Kepala SKPD menyerahkan rancangan DPA-SKPD kepada PPKD paling lama 6 (enam) hari kerja setelah pemberitahuan. TAPD melakukan verifikasi rancangan DPA-SKPD bersama-sama dengan kepala SKPD paling lama 15 (lima belas) hari sejak ditetapkannya peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD. Berdasarkan hasil verifikasi, PPKD mengesahkan rancangan DPA-SKPD dengan persetujuan sekretaris daerah. DPA-SKPD yang telah disahkan disampaikan kepada kepala SKPD, satuan kerja pengawasan daerah , dan Badan Pemeriksa Keuangan paling lama 7 (tujuh) hari kerja sejak tanggal disahkan. DPA-SKPD digunakan sebagai dasar pelaksanaan anggaran oleh kepala SKPD selaku pengguna anggaran/pengguna barang.
Kepala SKPD berdasarkan rancangan DPA-SKPD menyusun rancangan anggaran SKPD. Rancangan anggaran kas SKPD disampaikan kepada PPKD selaku BUD bersamaan dengan rancangan DPA-SKPD. Pembahasan rancangan anggaran kas SKPD dilaksanakan bersamaan dengan pembahasan DPA-SKPD. PPKD selaku BUD menyusun anggaran kas pemerintah daerah guna mengatur ketersediaan dana yang cukup untuk mendanai pengeluaran-pengeluaran sesuai dengan rencana penarikan dana yang tercantum dalam DPA-SKPD yang telah disahkan. Anggaran kas memuat perkiraan arus kas masuk dan perrkiraan arus kas keluar yang digunakan guna mendanai pelaksanaan kegiatan dalam setiap periode.
Format dan Struktur APBN dan Perbandingan antara format
belanja Negara lama (sd thn 2004) dan
format belanja baru (mulai tahun 2005)
Mulai tahun 2000 Pemerintah telah merubah
struktur
dan format APBN dari format T-account
menjadi I-account. Format APBN yang lama
menggunakan T- account
yaitu seperti
huruf
T. Pada sisi kiri dicantumkan rincian penerimaan
negara, baik penerimaan dalam negeri maupun penerimaan pembangunan (yang berasal
dari
pinjaman
luar
negeri). Pada sisi
kanan dicantumkan pengeluaran negara, yang terdiri dari pengeluaran rutin dan pengeluaran pembangunan. Dengan format ini jumlah penerimaan negara selalu sama
besarnya dengan jumlah pengeluaran negara
karena
pinjaman luar
negeri dimasukkan dalam
pos penerimaan pembangunan. Format APBN yang baru disusun menurut
I-account, yaitu seperti huruf I.
Pokok perubahan format APBN
Format Lama (Sebelum 2005)
|
Format Baru (2005 ke depan)
|
Klasifikasi Jenis
Belanja
ü Dual Budgeting
ü Belanja Pusat terdiri dari
6
jenis
belanja (termasuk belanja pembangunan)
1. Belanja Rutin
a. Belanja Pegawai
b. Belanja Barang
c. Pembayaran Bunga
d.
Subsidi
e. Pengeluaran Rutin Lainnya
2. Pengeluaran Pembangunan
|
Klasifikasi Jenis Belanja
ü Unified Budgeting
ü Belanja Pusat terdiri dari 8 jenis belanja
a.
Belanja
Pegawai
b.
Belanja
Barang
c.
Belanja
Modal
d.
Pembayaran
Bunga Utang
e.
Subsidi
f.
Belanja
Hibah
g.
Bantuan
Sosial
h.
Belanja
Lain-lain
|
Klasifikasi Organisasi
ü Tidak tercantum
dalam Nota Keuangan dan UU
APBN tetapi hanya tercantum dalam buku Satuan 3 yang ditetapkan dengan Keppres
|
Klasifikasi Organisasi
ü Datar organisasi pengguna anggaran belanja Negara
tercantum dalam Nota Keuangan dan UU APBN. Jumlah kementerian Negara/lembaga disesuaikan dengan yang ada
|
Klasifikasi Sektor
ü Terdiri dari 20 sektor dan 50 subsektor
ü Program
merupakan rincian dari
sektor
pada pengeluaran rutin dan pembangunan
ü Nama-nama
program antara pengeluaran
rutin dan pengeluaran agak berbeda
|
Klasifikasi
Fungsi
ü Terdiri dari 11 fungsi
dan 79 subfungsi
ü Program
pada masing-masing kementerian Negara/lembaga dikompilasi
sesuai dengan fungsinya
ü Nama-nama
program telah
disesuaikan dengan unified budget
|
Dasar Alokasi
Alokasi
anggaran berdasarkan sektor, subsektor dan program
|
Dasar Alokasi
ü Alokasi
anggaran berdasarkan
program kementerian Negara/lembaga
|
Dalam
sistem dual budgeting, pengeluaran rutin dimaksudkan sebagai
pengeluaran-pengeluaran pemerintah yang dialokasikan untuk membiayai kegiatan
rutin pemerintahan, yang terdiri dari (i) belanja pegawai, (ii) belanja
barang, (iii) pembayaran bunga utang, (iv) subsidi, dan
(v) pengeluaran rutin lainnya. Sementara itu, pengeluaran
pembangunan merupakan pengeluaran negara yang dialokasikan untuk membiayai
proyek-proyek pembangunan yang dibebankan pada anggaran belanja pemerintah
pusat dalam rangka pelaksanaan sasaran pembangunan nasional, baik berupa
sasaran fisik maupun nonfisik. Dalam hal ini, pengeluaran pembangunan terdiri
dari (i) pengeluaran pembangunan dalam bentuk pembiayaan rupiah,
yang pendanaannya bersumber dari dalam negeri dan dari luar negeri dalam bentuk
pinjaman program, dan (ii) pengeluaran pembangunan dalam bentuk
pembiayaan proyek, yang pendanaannya bersumber dari luar negeri dalam
bentuk pinjaman proyek.
Selanjutnya,
sebagaimana diamanatkan oleh UU No.17 Tahun 2003, maka sistem penganggaran
mengacu pada praktek-praktek yang berlaku secara internasional. Menurut GFS
(Government Financial Statistics) Manual 2001, sistem penganggaran belanja
negara secara implisit menggunakan sistem unified budget, dimana tidak
ada pemisahan antara pengeluaran rutin dan pembangunan, sehingga klasifikasi
menurut ekonomi akan berbeda dari klasifikasi sebelumnya. Dalam hal ini,
belanja negara menurut klasifikasi ekonomi dikelompokkan ke dalam (1) kompensasi
untuk pegawai; (2) penggunaan barang dan jasa; (3) kompensasi
dari modal tetap berkaitan dengan biaya produksi yang dilaksanakan sendiri oleh
unit organisasi pemerintah; (4) bunga hutang; (5) subsidi;
(6) hibah; (7) tunjangan sosial (social benefits);
dan (8) pengeluaran-pengeluaran lain dalam rangka transfer dalam
bentuk uang atau barang, dan pembelian barang dan jasa dari pihak ketiga untuk
dikirim kepada unit lainnya.
Dalam
melaksanakan perubahan format dan struktur belanja negara telah dilakukan
dengan melakukan penyesuaian-penyesuaian, namun tetap mengacu GFS Manual 2001
dan UU No. 17 Tahun 2003. Beberapa catatan penting berkaitan dengan perubahan
dan penyesuaian format dan struktur belanja negara yang baru antara lain :
1)
Pertama,
dalam format dan struktur I-account yang baru, belanja negara tetap
dipisahkan antara belanja pemerintah pusat dan belanja untuk daerah, karena pos
belanja untuk daerah yang berlaku selama ini tidak dapat diklasifikasikan ke
dalam salah satu pos belanja negara sebagaimana diatur dalam UU No.17 Tahun
2003;
2)
semua
pengeluaran negara yang sifatnya bantuan/subsidi dalam format dan struktur baru
diklasifikasikan sebagai subsidi; dan
3)
semua
pengeluaran negara yang selama ini ‘mengandung’ nama lain-lain yang tersebar di
hampir semua pos belanja negara, dalam format dan struktur baru
diklasifikasikan sebagai belanja lain-lain.
Pengertian Mengenai Perbendaharaan Negara Berdasarkan UU RI No.1 Tahun 2004 dan Pejabat Perbendaharaan Negara yang Dimaksud Dalam UU No.1
Tahun 2004 Beserta Kewenangannya dan Implikasinya
Yang dimaksud perbendaharaan negara dalam UU No. 1 Tahun 2004
tentang Perbendaharaan
Negara. adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk
investasi dan kekayaan yang dipisahkan yang ditetapkan dalam APBN dan APBD. Perbendaharaan Negara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 1 Angka 1, meliputi:
a.
pelaksanaan
pendapatan dan belanja negara;
b.
pelaksanaan
pendapatan dan belanja daerah;
c.
pelaksanaan
penerimaan dan pengeluaran negara;
d.
pelaksanaan
penerimaan dan pengeluaran daerah;
e.
pengelolaan
kas;
f.
pengelolaan
piutang dan utang negara/daerah;
g.
pengelolaan
investasi dan barang milik negara/daerah;
h.
penyelenggaraan
akuntansi dan sistem informasi manajemen keuangan negara/daerah;
i.
penyusunan
laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD;
j.
penyelesaian
kerugian negara/daerah;
k.
pengelolaan
Badan Layanan Umum; perumusan standar, kebijakan, serta sistem dan
prosedur yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan
APBN/APBD
PEJABAT PERBENDAHARAAN NEGARA
A. PENGGUNA
ANGGARAN
1) Menteri/pimpinan
lembaga adalah Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang bagi kementerian
negara/lembaga yang dipimpinnya, berwenang:
a. menyusun dokumen pelaksanaan
anggaran;
b. menunjuk Kuasa Pengguna
Anggaran/Pengguna Barang;
c. menetapkan pejabat yang
bertugas melakukan pemungutan penerimaan negara;
d. menetapkan pejabat yang
bertugas melakukan pengelolaan utang dan piutang;
e. melakukan tindakan yang
mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja;
f. menetapkan pejabat yang
bertugas melakukan pengujian dan perintah pembayaran;
g. menggunakan barang milik
negara;
h. menetapkan pejabat yang
bertugas melakukan pengelolaan barang milik negara;
i. mengawasi pelaksanaan
anggaran;
j. menyusun dan
menyampaikan laporan keuangan; kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya.
2) Gubernur/bupati/walikota
selaku Kepala Pemerintahan Daerah:
a.
menetapkan
kebijakan tentang pelaksanaan APBD;
b.
menetapkan
Kuasa Pengguna Anggaran dan Bendahara Penerimaan dan/atau Bendahara
Pengeluaran;
c.
menetapkan
pejabat yang bertugas melakukan pemungutan penerimaan daerah;
d.
menetapkan
pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah;
e.
menetapkan
pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan barang milik daerah;
f.
menetapkan
pejabat yang bertugas melakukan
pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran.
3) Kepala
satuan kerja perangkat daerah adalah Pengguna Anggaran/Pengguna Barang bagi
satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya.
Kepala satuan kerja perangkat daerah dalam
melaksanakan tugasnya selaku pejabat Pengguna Anggaran/Pengguna Barang satuan
kerja perangkat daerah yang dipimpinnya berwenang:
a. menyusun dokumen pelaksanaan
anggaran;
b. melakukan tindakan yang
mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran belanja;
c. melakukan pengujian atas
tagihan dan memerintahkan pembayaran;
d. melaksanakan pemungutan
penerimaan bukan pajak;
e. mengelola utang dan piutang;
f. menggunakan barang milik
daerah;
g. mengawasi pelaksanaan
anggaran;
h. menyusun dan menyampaikan
laporan keuangan; satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya.
B. BENDAHARA
UMUM NEGARA/DAERAH
1) Menteri
Keuangan adalah Bendahara Umum Negara.
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara
berwenang:
a.
menetapkan
kebijakan dan pedoman pelaksanaan anggaran negara;
b.
mengesahkan
dokumen pelaksanaan anggaran;
c.
melakukan
pengendalian pelaksanaan anggaran negara;
d.
menetapkan
sistem penerimaan dan pengeluaran kas negara;
e.
menunjuk bank
dan/atau lembaga keuangan lainnya dalam rangka pelaksanaan penerimaan dan
pengeluaran anggaran negara;
f.
mengusahakan
dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan anggaran negara;
g.
menyimpan
uang negara;
h.
menempatkan
uang negara dan mengelola/menatausahakan investasi;
i.
melakukan
pembayaran berdasarkan permintaan pejabat Pengguna Anggaran atas beban rekening
kas umum negara;
j.
melakukan
pinjaman dan memberikan jaminan atas nama pemerintah;
k.
memberikan
pinjaman atas nama pemerintah;
l.
melakukan
pengelolaan utang dan piutang negara;
m. mengajukan rancangan peraturan pemerintah tentang
standar akuntansi pemerintahan;
n.
melakukan
penagihan piutang negara;
o.
menetapkan
sistem akuntansi dan pelaporan keuangan negara;
p.
menyajikan
informasi keuangan negara;
q.
menetapkan
kebijakan dan pedoman pengelolaan serta penghapusan barang milik negara;
r.
menentukan
nilai tukar mata uang asing terhadap rupiah dalam rangka pembayaran pajak;
menunjuk pejabat Kuasa Bendahara Umum Negara.
2) Menteri Keuangan selaku
Bendahara Umum Negara mengangkat Kuasa Bendahara Umum Negara untuk melaksanakan
tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran dalam wilayah kerja yang
telah ditetapkan.
Tugas kebendaharaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi
kegiatan menerima, menyimpan, membayar atau menyerahkan, menatausahakan, dan
mempertanggungjawab-kan uang dan surat berharga yang berada dalam
pengelolaannya.
Kuasa Bendahara Umum Negara melaksanakan penerimaan dan pengeluaran
Kas Negara sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2)
huruf c.
Kuasa Bendahara Umum Negara berkewajiban memerintahkan penagihan
piutang negara kepada pihak ketiga sebagai penerimaan anggaran.
Kuasa Bendahara Umum Negara berkewajiban melakukan
pembayaran tagihan pihak ketiga sebagai pengeluaran anggaran.
3) Kepala
Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah adalah Bendahara Umum Daerah.
Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah
selaku Bendahara Umum Daerah berwenang:
a.
menyiapkan
kebijakan dan pedoman pelaksanaan APBD;
b.
mengesahkan
dokumen pelaksanaan anggaran;
c.
melakukan
pengendalian pelaksanaan APBD;
d.
memberikan
petunjuk teknis pelaksanaan sistem penerimaan dan pengeluaran kas daerah;
e.
melaksanakan
pemungutan pajak daerah;
f.
memantau
pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran APBD oleh bank dan/atau lembaga keuangan
lainnya yang telah ditunjuk;
g.
mengusahakan
dan mengatur dana yang diperlukan dalam pelaksanaan APBD;
h.
menyimpan
uang daerah;
i.
melaksanakan
penempatan uang daerah dan mengelola/menatausahakan investasi;
j.
melakukan
pembayaran berdasarkan permintaan pejabat Pengguna Anggaran atas beban rekening
kas umum daerah;
k.
menyiapkan
pelaksanaan pinjaman dan pemberian jaminan atas nama pemerintah
daerah;
l.
melaksanakan
pemberian pinjaman atas nama pemerintah daerah;
m. melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah;
n.
melakukan
penagihan piutang daerah;
o.
melaksanakan
sistem akuntansi dan pelaporan keuangan daerah;
p.
menyajikan
informasi keuangan daerah;
q.
melaksanakan
kebijakan dan pedoman pengelolaan serta penghapusan barang milik daerah.
C. BENDAHARA
PENERIMAAN/PENGELUARAN
·
Menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/walikota mengangkat Bendahara Penerimaan untuk
melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan
·
anggaran
pendapatan pada kantor/satuan kerja di lingkungan kementerian
negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah.
·
Menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/walikota mengangkat Bendahara Pengeluaran untuk
melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran belanja pada
kantor/satuan kerja di lingkungan kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat
daerah.
·
Bendahara
Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) adalah Pejabat Fungsional.
·
Jabatan
Bendahara Penerimaan/Pengeluaran tidak boleh dirangkap oleh Kuasa Pengguna
Anggaran atau Kuasa Bendahara Umum Negara.
·
Bendahara
Penerimaan/Pengeluaran dilarang melakukan, baik secara langsung maupun tidak
langsung, kegiatan perdagangan, pekerjaan pemborongan dan penjualan jasa atau
bertindak sebagai penjamin atas kegiatan/pekerjaan/ penjualan tersebut.
Implikasinya Menteri
Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dan pejabat lainnya yang ditunjuk sebagai
Kuasa Bendahara Umum Negara bukanlah sekedar kasir yang hanya berwenang
melaksanakan penerimaan dan pengeluaran negara tanpa berhak menilai kebenaran
penerimaan dan pengeluaran tersebut. Menteri Keuangan selaku Bendahara
Umum Negara adalah pengelola keuangan dalam arti seutuhnya, yaitu berfungsi
sekaligus sebagai kasir, pengawas keuangan, dan manajer keuangan.
Fungsi pengawasan keuangan di sini terbatas pada
aspek rechmatigheid dan wetmatigheid dan hanya dilakukan pada
saat terjadinya penerimaan atau pengeluaran, sehingga berbeda dengan fungsi pre-audit
yang dilakukan oleh kementerian teknis atau post-audit yang dilakukan
oleh aparat pengawasan fungsional. Dengan demikian, dapat dijalankan salah satu
prinsip pengendalian intern yang sangat penting dalam proses pelaksanaan
anggaran, yaitu adanya pemisahan yang tegas antara pemegang kewenangan
administratif (ordonnateur) dan pemegang fungsi pembayaran (comptable).
Penerapan pola pemisahan kewenangan tersebut, yang merupakan salah satu
kaidah yang baik dalam pengelolaan keuangan negara, telah mengalami ”deformasi”
sehingga menjadi kurang efektif untuk mencegah dan/atau meminimalkan terjadinya
penyimpangan dalam pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara. Oleh karena
itu, penerapan pola pemisahan tersebut harus dilakukan secara konsisten.
Dalam Pelaksanaan
APBN dalam UU No. 1 Tahun 2004 Adanya Pemisahan Kewenangan Antara Menteri Teknis Selaku Pengguna Anggaran dan Menteri Keuangan Selaku BUN
Menteri Keuangan sebagai pembantu
Presiden dalam bidang keuangan pada hakikatnya adalah Chief
Financial Officer (CFO) Pemerintah Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan
lembaga pada hakikatnya adalah Chief
Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu di pemerintahan.
Kementerian Keuangan berwenang dan bertanggung jawab atas pengelolaan aset dan
kewajiban negara secara nasional. Sementara itu kementerian negara/lembaga berwenang
bertanggung jawab atas penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan tugas dan
fungsi masing-masing.
Konsekuensi
pembagian tugas antara Menteri Keuangan dan para menteri lainnya
tercermin dalam pelaksanaan anggaran. Untuk meningkatkan akuntabilitas dan
menjamin terselenggaranya saling-uji (check and balance) dalam proses
pelaksanaan anggaran perlu dilakukan pemisahan secara tegas antara pemegang
kewenangan administratif dengan pemegang kewenangan kebendaharaan.
Penyelenggaraan kewenangan administratif diserahkan kepada kementerian
negara/lembaga, sementara penyeleng-garaan kewenangan kebendaharaan diserahkan
kepada Kementerian Keuangan. Kewenangan administratif tersebut meliputi
melakukan perikatan atau tindakan-tindakan lainnya yang mengakibatkan
terjadinya penerimaan atau pengeluaran negara, melakukan pengujian dan
pembebanan tagihan yang diajukan kepada kementerian negara/lembaga sehubungan
dengan realisasi perikatan tersebut, serta memerintahkan pembayaran atau
menagih penerimaan yang timbul sebagai akibat pelaksanaan anggaran.
Hal tersebut di atas berbeda dengan pelaksanaan pengelolaan keuangan negara
sebelum UUKN diundangkan. Pada masa itu, Menteri Keuangan selain melaksanakan
pengurusan kebendaharaan juga melaksanakan pengurusan administratif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar